Jumat, 19 April 2013

Kisah Pertemuan dengan Margarine



Hari itu adalah hari ketiga sejak diadakannya bazaar Pindad untuk merayakan ulang tahun yang ke-27 pabrik peluru tersebut. Aku yang saat itu sedang dalam proses UN SMP, masih menyempatkan diri untuk mampir dan melihat-lihat suasana bazaar sepulang ujian.

Suasananya belum terlalu ramai. Wajar, karena jam masih menunjukkan waktu siang. Acara-acara begini biasanya paling ramai saat malam. Namun kulihat banyak juga orang yang berbelanja disana saat itu.



Mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kandang berbentuk persegi panjang. Aku terus-terusan memandangi isi kandang tersebut sampai mungkin lebih dari 10 menit, memperhatikan kelinci-kelinci mungil yang ada di dalamnya. Ya, mereka adalah kelinci-kelinci yang sedang dipajang untuk dijual di salah satu stand. Benar-benar imut...

Ada satu anak kelinci yang menarik perhatianku. kelinci berwarna kuning mentega yang begitu aktif, tidak seperti kelinci lain di kandang itu yang kerjanya cuma tidur atau sekedar bersandar ke dinding kandang untuk bersantai.

"Mau beli, Dek?" Tanya si pak penjual tiba-tiba.
"Ah? Oh, lagi nggak bawa uang, Pak. Hehe." Aku menjawab tersipu.
"Beli aja, Dek! Seekor 25 ribu." Tawar si pak penjual.
"Beneran lagi nggak bawa uang, Pak."
Andai bawa uang, mungkin kelinci kuning itu sudah kubeli sedari tadi.
Ah, tapi mungkin ibu tidak akan mengijinkanku beli meskipun aku sudah membujuknya.

Akhirnya aku pulang ke rumah karena sudah cukup lama aku melihat-lihat.
Margarine di dalam kandang ayam
Di rumah, aku masih terbayang si kelinci kuning tadi. Dia benar-benar imut. Bulunya lebat dan terlihat halus, sedang matanya bulat, berwarna hitam legam bersinar. Matanya terlihat besar jika dibandingkan dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Dan kupingnya... unyu. Terbesitlah lagi keinginanku untuk memelihara kelinci tersebut.
"Mungkin ibu bakal mengijinkan kalau aku memohon baik-baik." pikirku.

Kulirik jam dinding masih menunjukkan pukul 3 sore. Kurang 1 jam lagi sebelum ibu pulang. Aku sungguh tak sabar untuk membujuknya ikut ke bazaar dan membelikan si kelinci kuning untuk dipelihara di rumah. Setelah satu jam menanti, akhirnya beliau pulang sambil membawa sekantong plastik berisi es campur. Aku membantunya menaruh es campur tersebut ke dalam mangkuk besar, setelah itu membahas soal kelinci kuning yang aku temui di bazaar.

"Eh? Beli kelinci? Kamu lagi UN, kan." jawaban yang sudah bisa diduga dari ibu.
"Nggak masalah, kok... Kan kelincinya nggak mengganggu waktu belajar..." Ujarku beralasan.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala. "Ya sudah, Mama ijinkan. Tapi kelincinya dirawat baik-baik, ya. Jangan dimandiin kayak dulu."
"Serius, nih?"
"Iya."
"Asyik! Ayo, Ma, ke bazaar!" Ajakku bersemangat.

Akhirnya kami berangkat lagi menuju bazaar bersama-sama. Aku menunjukkan stand yang menjual si kelinci kuning.
"Itu Ma, yang itu." Aku menunjuk si kelinci kuning.
"Nggak yang putih aja, Dek?"
Aku menggeleng. "Yang itu lebih manis."

Setelah berusaha tawar-menawar dengan penjualnya, akhirnya kami kembali ke rumah dengan membawa si kelinci kuning di sebuah kantung kertas.

Aku menamainya Margarine. Ia kutaruh di kandang kecil bekas tempat hamster yang dulu pernah kupelihara. Karena dia masih kecil, aku masih belum berani untuk melepasnya di halaman belakang seperti kelinciku yang lain, karena akan beresiko dimakan kucing.

Aku merawatnya dengan baik. Kadang, agar tidak stress, aku mengeluarkannya dari kandang dan menemaninya bermain di halaman belakang selama sejam. Selama itu aku harus terus-terusan mengawasinya agar dia tidak sampai diterkam kucing liar. Aku melakukan itu sampai akhirnya dia cukup besar untuk dilepas dari kandang dan dibiarkan bebas di halaman belakang bersama kelinci lain. Aku sungguh sayang pada Margarine.

Margarine saat sudah lumayan besar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar